Menelisik Etnis Tionghoa di Tangerang Pantura (Tanjung Kait)
Dewi Neng Antara Legenda dan Realita Sejarah
Syarifah Aini
(2288180032)
Pendidikan
Sejarah
Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa
Abstrak
Mengenai
etnis Tionghoa di Tangerang pantura lebih tepatnya deretan wilayah Tanjung
kait, Pekayon, Ketapang (Keronjo-Teluknaga) tidak lepas dari sebuah anggapan
bahwa etnis Tionghoa dibawa oleh orang-orang yang berperan penting dalam
penyebarannya. Masyarakat Tionghoa yang sangat identik dengan sebuah
perdagangan dan pelayan serta kehidupan kebudayaan, peradaban yang sudah sangat
maju sejak masa Cina Kuno memungkinkan masyarakat Tionghoa mampu berlayar
dengan peralatan dan pelayaran yang sudah sangat maju. Termasuk Banten yang
pada saat itu telah menjadi pelabuhan besar yang banyak disinggahi oleh
masyarakat asing termasuk didalamnnya masyarakat Tionghoa yang banyak melakukan
intraksi dengan masyarakat Banten hingga kedaerah-daerah terdalam di Banten
termasuk Tangerang Pantura.
Kata kunci: Etnis Tionghoa,
Dewi Neng
PENDAHULUAN
Sebelum
melakukan penulisan mengenai sejarah keberadaan etnis Tionghoa di Tangerang
Pantura, hal yang terlebih dahulu dilakukan adalah penelitian sejarah dengan
melkukan sumber-sumber sejarah yang ada. Adapun langkah-langkah yang dilakukan
penulis adalah:
Penelitian
sejarah ilmiah terhadap kedatangan etnis Tionghoa di nusantara, mencermati
fenomena dan sejarah awal mula kedatangannya serta peran para tokoh yang ikut
berpengaruh dalam perkembangan etnis tionghoa di nusantara, mencermati fenomena
dan sejarah awal mula kedatangannya serta peran para tokoh yang ikut
berpengaruh dalam perkembanganya. Pada tahap ini penulis juga mengunjungi situs
penting seperti yang telah tertulis dalam judul terhadap peran dan pengaruh
tokoh Dewi Neng. Penulis mendatangi makam keramat dewi neng guna mendapatkan
informasi mengenai sosok Dewi Neng, selain itu, untuk mendapatkan sumber
sejarah yang lebih jelas penulis melakukan wawancara terhadap juru kunci
penjaga makam keramat Dewi Neng, serta beberapa tokoh masyarakat yang
mendapatkan informasi melalui hal-hal yang terbilang mistik. Dari sinilah
sumber-sumber sejarah mengenai Etnis Tionghoa, Peran dewi Neng serta hubungannya
dengan masyarakat di Tangerang pantura guna mendaparkan sumber sebanyak
banyaknya.
Pengumpulan
sumber yang dilakukan penulis sangatlah minim, karena keterbatasan sumber
informasi yang didapat dari sumber kebendaan maupun sember lisan. Oleh
karenanya penulis berharap dapat mengungkap jejak sejarah yang belum terungkap,
dengan melakukan penulisan terhadap sejarah local di Tangerang Pantura. Sejalan
dengan kerangka metodologi “Pendekatan Sejarah”
dalam melakukan rekontruksi sejarah, dengan memastikan dan menyatakan
kembali peristiwa atau keberadaan masa lalu manusia.
PEMBAHASAN
Sebetulnya
tidak ada data resmi tentang kapan orang Tionghoa pertama kali menginjakan
kakinya di Nusantara ini. Dugaan selama ini hanya berdasatkan hasil temuan
benda-benda kuno seperti tembikar Tiongkok di Jawa Barat, Lampung daerah
Batanghari dan Kalimantan Barat maupun yang disimpan diberbagai kraton. Menurut
catatan yang ada, orang-orang Tionghoa mulai berdatangan ke Indonesia pada abad
ke IX, yaitu pada zaman dinasti Tang untuk berdagang dengan membawa
barang-barang kerajinan seperti barang-barang porselan, sutera, teh, alat-alat
pertukangan pertanian dan sebagainya.
Letak
strategis Tanjung Kait yang berada diantara dua pelabuhan besar yaitu cisadane
(menurut laporan Tome Pires disebut Tamgaram) dan pelabuhan Banten yang
termasuk dalam pelabuhan terbesar di Nusantara, tidak memungkinkan daerah
Kabupaten lebih tepatnya di Desa Tanjung Kait terdapat masyarakat etnis Tionghoa
yang singgah ataupun bermukim. Selain itu kesultanan Banten yang berdiri
sekitar 1526- 1813 masehi menyambut hangat bangsa pendatang dari berbagai
belahan dunia, bangsa-bangsa itu hidup berdampingan antar sesama. Selain itu
kesultanan yang pada saat itu memberikan izin terhadap akses masuk bangsa Asing
menjadikan Banten lebih banyak lagi disinggahi orang-orang yang berasal dari
luar negeri yang menjadikan Banten sebagai kota yang Multikultural. Banyak
sekali etnis, ras yang hidup dan berkembang di Banten.
Di
Tanjung Kait, Mauk itu sendiri etnis Tionghoa mulai berdatangan dan berkembang
sudah sejak berdirinya klenteng yang terdapat di Tanjung kait yang diperkirakan
merupakan sebuah klenteng tertua di Banten yaitu kelenteng Tjo Soe Kong yang diperkirakan
berdiri pada abad ke 18, didirikan oleh etnis Tionghoa, kebijaksanaan serta
kebaikan Tjo Soe Kong membuat para etnis Tionghoa berdatangan untuk menziarahi
orang yang mereka hormati. Dari sinilah banyak etnis Tionghoa yang berdatangn
dan bermukim di Tanjung Kait.
DEWI NENG
ANTARA LEGENDA DAN REALITAS SEJARAH
Satu dari sekian banyak legenda yang
berkembang di masyarakat adalah tentang keberadaan sebuah makam yang terletak
di wilayah Tanjung Kait kecamatan mauk Kabupaten Tangaerang, yakni makam
seoarang Muslimah keturunan Tiong hoa bernama Dewi Neng dengan nama Tiong Hoa “Lie
Tien Nio”. Keberadaan makam ini sudah tentu memiliki arti tersendiri terutama
bagi masyarakat Tiong Hoa di sekitar Tanjung Kait dan sekitarnya. Hal ini
disebabkan makam ini termasuk makam yang dikeramatkan oleh masyarakat Tiong
Hoa. Namun demikian keberadaannya belum banyak terekam dalam jejak sejarah. Hal
ini disebabkan kurangnya informasi dan data sejarah yang berkaitan dengan
keberadaan sosok tokoh yang dimakamkan di daerah Tanjung Kait tersebut.
Bagaimana peran dan kiprahnya, dan siapa beliau di panggung sejarah tidak
banyak diketahui dengan pasti. Kisahnya hanya milik Oral Hitory
yang melegenda dimasyarakat, dan belum ditemukan peninggalan sejarah dalam
bentuk tulisan ataupun riwayat yang pasti tentang kehidupan beliau.
Kendati demikian sosok Dewi Neng memiliki
nilai magis tersendiri bagi masayarakat Tiong Hoa, dan kaum muslimin yang
memiliki ikatan emosional-Spiritual (aliran Tarekat tertentu) dalam Islam. Dengan demikian yang datang ke makam beliau
bukan hanya etnis Tiong Hoa yang Konfusianisme, melainkan juga kaum muslimin
yang memiliki ikatan emosional-spiritual (kelompok tarekat) tersebut. Bagi
penganut Tarekat berziarah ke makam guru atau ulama Tarekat ataupun mereka yang
dianggap pengamal tarekat adalah sebuah keharusan demi mejaga keterhubungan
satu generasi dengan generasi sebelumnya. Dan hal ini adalah cara untuk menjaga
ikatan persaudaraan dalam hirarki tarikat dalam Islam. Namun demikian dalam
tulisan ini penulis tidak akan membahas
lebih lanjut tentang apa itu tarekat dan bagaimana keberadaan beliau dalam
salah satu ajaran tarekat yang berkembang di nusantara pada masa lalu.
Dari cerita yang berkembang di
masyarakat keberadaan makam Dewi Neng erat kaitannya dengan keberadaan sebuah
kelenteng yang tidak jauh dari makam tersebut, yaitu Tjo Soe Kong
namanya. Pembangunannya dimulai setelah ditemukannya makam tersebut dan
dijadikan tempat persembahyangan orang-orang Tionghoa. Dengan semakin banyaknya
jumlah pengunjung ke makam tersebut maka dibangunlah kelenteng tersebut guna menampung
jamaah yang datang, dan upacara ritual
mereka secara otomatis banyak dilakukan di dalam kelenteng di samping beziarah
ke makam tersebut.
Bagi masyarakat Tiong Hoa, baik
Kelenteng Tjo Soe Kong Maupun makam Dewi Neng, keduanya memiliki arti penting
dalam kehidupan spiritual mereka. Dalam keyakinan mereka bagi siapa saja yang
datang ke makam tersebut di percaya akan mendapatkan keberkahan dan segala
keinginannya akan terlaksana. Untuk itu baik sebelum maupun sesudah melakukan
sembahyang di Kelenteng, mereka juga melalukan ritual persembahan di makam Dewi
Neng guna mendapatkan berkah.
Sosok Dewi Neng menurut informasi
yang beredar di masyarakat adalah seorang saudagar yang berasal dari kepulauan
seribu. Suatu ketika, terjadi musibah yang menimpanya dalam melaksanakan
pelayaran perdagangan dan beliau terdampar di daerah Tanjung Kait, yang
kemudian ditolong oleh saudagar kaya bernama “Boen Tek Bio”. Oleh Boen Tek Bio
beliau diberi tempat tinggal yang hingga sekarang menjadi tempat pemakaman
beliau di desa Tanjung Kait. Dari penolongan inilah kemudia Dewi Neng belajar
agama islam kepada salah satu murid K.H. Soleh (Gunung Santri) yang mendapat
tugas dari pulau Cangkir untuk menjaga wilayah Tanjung Kait bernama “Dewi
Saraswati/Nyimas Melati, yang beraliran tarekat Naqsabandiyah dengan demikian
islam yang dipelajari oleh Dewi Neng lebih kepada ajaran Theosofi Sufistik,
yang saat itu tengah berkembang di seantero dunia islam dengan beraneka macam
kelompok terekat, seperti: Qodariyah, Naqsabandiyah, Tijaniyah dsb.
Sementara bagi masyarakat Tionghoa
Dewi Neng diyakini sebagai titisan Dewi “Kwan In” (Dewi Kemakmuran), sosok Dewi
Kwan In lah yang banyak dipuja oleh masyarakat Tionghoa untuk mencapai
kesuksesan dunia (mencari kekayaan), dan hal ini mereka yakini ada pada sosok
Dewi Neng. Hal ini pula yang menjadikan masyarakat Tionghoa berbondong-bondong
untuk mendatangi makan keramat Dewi Neng, dimana hal ini menambah populasi
masyarakat Tionghoa atau Cina di Tanjung Kait.
Ada hal yang menarik dari cerita mengenai
Sosok dan peran Dewi Neng dalam kedatangan masyarakat Tionghoa, hal ini menjadi
symbol keharmonisan social antara masyarakat Tionghoa yang konfusianisme disatu
pihak dengan masyarakat muslim. Di pihak lain, dimana kedauanya (paling tidak)
mengagumi satu tokoh sentral yaitu dewi neng. Sedangkan keduanya tidak terlepas
dari proses akulturasi agama, dan berpegang teguh pada keyakinan.
KESIMPULAN
Cina
merupakan sebuah Negara yang memiliki tingkat peradaban serta kebudayaan yang
tinggi, sudah sejak masa ke kaisaran pada masa Cina Kuno, bahkan Negara Cina
sudah mampu memiliki teknologi yang lebih tinggi disbanding dengan
Negara-negara lain. Tidak heran bahwa Cina sudah mampu melakukan pelayaran guna
memajukan perekonomian negerinya dengan segala kecanggihan hingga mampu
menjelajahi belahan dunia, termasuk Banten. Hal ini membuat banten banyak
disinggahi pedagang dari Cina, termasuk daerah pesisir pantai Tanjung Kait.
Terkait dengan penyebaran etnis Tionghoa dipesisir Tanjung Kait tidak lepas
dari peran seorang tokoh yang memang meiliki daya tarik tersendiri bagi
masyarakat Tionghoa yang menganut kepercayaan-kepercayaan bahwa adanya
reinkarnasi atau titisan dewa maupun dewi tertentu pada diri seseorang hal ini
yang mendasari Dewi Neng yang hidup dan bermukim di Tanjung Kait amat
diagungkan bagi banyaknya etnis Tionghoa di Tanjung Kait. Dewi Neng yang memang
merupakan seorang yang amat mendalami ilmu agamanya, memiliki kesan mistik
tersendiri bagi mayoritas masyarakat muslim di mauk bahkan luar mauk. Dengan
adanya sosok beliau merupakan bukti sejarah bahwa satu tokoh sentral mampu
membuat akulturasi dua kebudayaan berpadu dalam satu keharmonisan dalam
kehidupan, antara masyarakat Tionghoa (Konfusianisme) mampu hidup berdampingan
dengan Masyarakat muslim dengan satu tokoh yang amat dihormati “Dewi Neng”.
Dokumentasi